
![]() |
Refleksi Hari Lahir Pancasila, 1 Juni 1945 – 1 Juni 2025Oleh: Murni Parembai, SS., M.Ag. |
NARASIRAKYAT --- Kerinduan akan kemerdekaan adalah cita-cita luhur yang muncul di setiap generasi bangsa yang terjajah. Semangat itu menyala sejak masa Kebangkitan Nasional tahun 1908 sebagai fase awal kebangkitan kolektif, lalu menguat dalam Sumpah Pemuda 1928, ketika pemuda dari berbagai pelosok Nusantara menyatukan tekad: Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa—Indonesia.
Tahun 1945 menjadi babak penting dalam sejarah bangsa. Di tengah kekacauan Perang Dunia II dan janji kemerdekaan dari Jepang, para pendiri bangsa memanfaatkan momentum ini untuk merumuskan dasar negara. Terjadi diskusi intensif dan heroik tentang bentuk negara dan ideologi pemersatu. Lahir dari semangat pembebasan dari penjajahan, keterbelakangan, dan penindasan, nilai-nilai luhur akhirnya dirumuskan.
Tanggal 1 Juni 1945, melalui pidato visioner Ir. Soekarno dalam sidang BPUPKI, lahirlah Pancasila. Lima sila yang integral, holistik, dan dinamis—berakar dari nilai-nilai budaya bangsa sejak era Sriwijaya dan Majapahit—kemudian menjadi dasar kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pancasila: Antara Simbol dan Realita
Menurut Soekarno, Pancasila adalah leitstar (bintang penuntun), bukan hanya untuk membentuk negara, tetapi juga membentuk manusia dan masyarakat Indonesia seutuhnya. Namun kini, setelah delapan dekade kemerdekaan, nilai-nilai Pancasila justru makin tampak menjauh dari realitas kehidupan masyarakat. Ia hidup dalam teks, hafalan, dan upacara, tapi terasing dalam tindakan dan kebijakan. Kita menjadi masyarakat Pancasila yang justru teralienasi dari nilai-nilai Pancasila itu sendiri.
Paradox Nilai: Dari Sila ke Realita
Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa
Mengajarkan nilai religiusitas dan moralitas sebagai fondasi hidup. Namun kini agama seringkali terjebak dalam simbolisme, dijalankan secara formalis tanpa makna transformasional. Ruang publik kerap diramaikan oleh kebebasan tafsir yang justru melahirkan sekularisme dan kekosongan spiritual.
Sila Kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Menghendaki empati dan penghormatan terhadap martabat manusia. Tetapi realitasnya, kita hidup dalam masyarakat yang terjebak dalam individualisme dan pragmatisme. Ujaran kebencian dan kekerasan verbal di ruang digital telah menormalisasi kehilangan adab.
Sila Ketiga: Persatuan Indonesia
Idealnya menguatkan kohesi sosial dalam keberagaman. Namun yang berkembang justru polarisasi identitas, eksklusivisme kelompok, dan retaknya semangat gotong royong. Rasa senasib sepenanggungan tergantikan oleh ketidakpedulian sosial.
Sila Keempat: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
Menekankan demokrasi partisipatif dan musyawarah. Tapi kenyataannya, proses pengambilan keputusan publik sering dilakukan secara elitis dan sepihak. Musyawarah tinggal formalitas, hikmah digantikan kekuasaan.
Sila Kelima: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Menjadi puncak tujuan Pancasila, namun ketimpangan sosial masih merajalela. Kemiskinan struktural, ketidakadilan distribusi, dan lemahnya perlindungan negara terhadap kelompok rentan menunjukkan keadilan belum menjadi kenyataan.
Modernitas membawa rasionalitas, efisiensi, dan kebebasan individu. Namun tanpa fondasi nilai, modernitas justru menciptakan keterasingan moral. Kemajuan teknologi tidak sejalan dengan kemajuan peradaban manusia bila nilai kemanusiaan dikesampingkan.
Inilah tantangan terbesar masyarakat Pancasila hari ini: bagaimana tetap maju dan terbuka terhadap globalisasi, tanpa kehilangan jati diri sebagai bangsa yang berakar pada nilai-nilai luhur.
Pancasila bukan sekadar ideologi atau dokumen historis. Ia adalah jalan hidup yang harus menyatu dalam keseharian kita. Hari Lahir Pancasila hendaknya menjadi momen reflektif, bukan seremoni kosong. Kita mesti bertanya: apakah kita masih hidup dalam semangat Pancasila? Ataukah kita telah menjadi bangsa yang kehilangan bintang penuntunnya?
Inilah pekerjaan rumah bersama: menghidupkan kembali nilai-nilai Pancasila tidak hanya dalam wacana, tetapi dalam tindakan nyata—di sekolah, kantor, media sosial, rumah ibadah, hingga kebijakan negara.
Karena bangsa ini tidak cukup hanya besar karena sejarahnya, tetapi harus kuat karena nilai-nilai yang terus dihidupinya.