![]() |
Ammatoa Digugat, HMI Ingatkan Bahaya Kriminalisasi Adat dan Ancaman terhadap HAM serta Lingkungan Hidup |
NARASIRAKYAT, BULUKUMBA — Gugatan terhadap pemangku adat Ammatoa Kajang di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, memunculkan kekhawatiran serius tentang perlindungan hukum bagi masyarakat adat. Gugatan ini dinilai tidak hanya menyasar individu pemimpin adat, tetapi berpotensi melemahkan fondasi hukum dan tradisi masyarakat adat Kajang yang selama ini menjadi penjaga hutan adat berstatus legal.
Ketua Bidang Hukum dan HAM HMI Komisariat Syariah dan Hukum Cabang Gowa Raya, Mursil Akhsam, menyampaikan sikap tegas pihaknya terhadap situasi tersebut. Ia menyebut gugatan terhadap Ammatoa dapat menjadi pintu masuk kriminalisasi adat dan ancaman terhadap HAM.
Dalam keterangannya, Mursil menegaskan bahwa perkara ini tidak dapat dipahami sebagai sengketa personal. Ada pertaruhan nilai konstitusional dan sejarah panjang keberadaan masyarakat adat di Indonesia.
“Ketika pemangku adat yang menjalankan mandat perlindungan hutan justru digugat, maka yang dipersoalkan bukan hanya individu, tetapi keberadaan hukum adat itu sendiri,” ujarnya.
Menurutnya, masyarakat adat Kajang menjalankan fungsi ekologis penting dengan menjaga hutan adat yang telah diakui secara hukum oleh negara. Gugatan hukum terhadap pemimpin adat dianggap bertentangan dengan amanat konstitusi, khususnya Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, serta prinsip dasar HAM.
Mursil menjelaskan bahwa perlindungan terhadap lingkungan hidup adalah bagian dari hak asasi manusia. Ia juga menambahkan bahwa tindakan adat dalam menjaga hutan bukanlah tindakan personal, tetapi upaya kolektif demi kepentingan publik.
“Kriminalisasi adat bukan hanya mencederai keadilan, tetapi juga mengancam keberlanjutan lingkungan. Jika penjaga hutan dikriminalisasi, maka negara sedang membuka ruang bagi kerusakan ekologis,” tegasnya.
Ia menilai praktik penegakan hukum yang terlalu formalistik berpotensi menempatkan masyarakat adat dalam posisi rentan. HMI mendorong aparat penegak hukum serta lembaga peradilan untuk mengedepankan pendekatan bermartabat, berkeadilan substantif, dan selaras dengan prinsip HAM.
HMI Komisariat Syariah dan Hukum Cabang Gowa Raya meminta agar peradilan berhati-hati dalam mengambil langkah hukum yang dapat menimbulkan kriminalisasi adat. Menurut Mursil, kasus ini menjadi ujian bagi komitmen negara dalam melindungi masyarakat adat dan menjaga ekosistem hutan.
“Kasus Ammatoa menjadi ujian serius komitmen negara dalam melindungi hukum adat, HAM, dan lingkungan hidup. Jika adat gagal dilindungi, maka yang dipertaruhkan bukan hanya hutan Kajang, tetapi juga kepercayaan publik terhadap keadilan,” pungkasnya.
Lima Fakta Menarik Seputar Kasus Ammatoa Kajang
Hutan adat Kajang telah diakui secara hukum dan menjadi bagian penting pelestarian lingkungan di Bulukumba.
Ammatoa adalah pemimpin adat tertinggi, berperan sebagai penjaga tradisi dan hutan adat.
Gugatan hukum berpotensi menimbulkan kriminalisasi adat, bukan sekadar sengketa personal.
Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menjadi dasar konstitusional perlindungan masyarakat adat.
HMI menyoroti pendekatan hukum formalistik yang dianggap mengabaikan keadilan substantif.
Kasus Ammatoa Kajang bukan sekadar persoalan hukum—ini adalah cerita tentang perjuangan mempertahankan warisan, hutan, budaya, dan martabat masyarakat adat. Hutan Kajang bukan hanya bentang alam, tetapi juga identitas kolektif yang diwariskan dari generasi ke generasi. Saat pemimpin adat digugat karena menjalankan mandat perlindungan ekologi, pertanyaannya bukan hanya tentang legalitas, tetapi juga tentang masa depan manusia, lingkungan, dan kemanusiaan.




