
Oleh: Dr. Mansur, M.Ag. | Email: masurahmad1965@gmail.com
Pendidikan adalah investasi jangka panjang bangsa. Oleh karena itu, penerapan aturan di lembaga pendidikan formal seperti sekolah harus dilandasi kebijakan yang bijak, terukur, dan berpihak pada perkembangan anak didik. Harapan masyarakat pun semakin tinggi agar kepala sekolah dan tenaga pendidik mampu menjalankan fungsi pendidikan secara ideal tanpa meninggalkan sisi kemanusiaan dan psikologis peserta didik.
Jam Belajar Harus Sesuai Usia dan Kapasitas Anak
Pemerintah telah mengatur alokasi waktu pembelajaran berdasarkan jenjang pendidikan: TK (30 menit), SD (35 menit), SMP (40 menit), dan SMA (45 menit) per jam pelajaran. Namun, dalam praktiknya, beberapa sekolah memberlakukan satu kali pertemuan dengan durasi 2 hingga 3 jam pelajaran tanpa jeda yang cukup.
Berdasarkan kajian psikologi perkembangan, anak memiliki rentang konsentrasi berbeda sesuai usianya. Misalnya, anak usia 8 tahun hanya bisa fokus maksimal 24 menit, sementara anak usia 16 tahun maksimal 48 menit. Jika pembelajaran melebihi waktu fokus tersebut, maka lebih dari 60 menit waktu guru bisa menjadi sia-sia karena anak tidak lagi menyerap materi secara optimal. Maka, penting bagi sekolah untuk menyesuaikan durasi pembelajaran dengan rentang fokus peserta didik agar proses belajar tetap efektif.
Waktu Masuk Sekolah: Antara Disiplin dan Hak Anak
Memulai kegiatan belajar pukul 06.30 atau bahkan 06.45 sering kali dianggap sebagai bentuk penegakan disiplin. Namun, hal ini juga menyisakan problem sosial. Anak-anak berangkat tergesa-gesa, mengurangi waktu komunikasi dengan orang tua, bahkan berisiko mengalami kecelakaan lalu lintas.
Sekolah tidak boleh mengambil alih peran orang tua secara penuh. Peran orang tua dalam menanamkan nilai moral dan spiritual di pagi hari sebelum anak berangkat sekolah adalah momen yang sangat penting. Jika ini hilang, maka peserta didik bisa kehilangan arah moral karena terlalu mengandalkan satu sumber—yakni guru sekolah.
Bahkan, ironisnya, banyak guru yang juga orang tua murid merasa tidak sempat menanamkan nilai kepada anaknya sendiri karena harus terburu-buru tiba di sekolah.
Ketimpangan Penerimaan Siswa dan Pelanggaran Kuota
Fenomena yang sering terjadi adalah ketimpangan dalam penerimaan peserta didik baru. Ada sekolah yang dibanjiri siswa, bahkan melebihi kapasitas, dan ada yang kekurangan siswa hingga hampir kosong. Hal ini sering kali dipicu oleh sekolah favorit yang melanggar batas maksimal penerimaan kelas, misalnya dari 4 kelas menjadi 6 kelas.
Akibatnya:
-
Guru dipaksa mengajar lebih dari batas wajar (idealnya 6 jam), sehingga konsentrasi dan kualitas mengajar menurun.
-
Peserta didik dibebani pembelian perlengkapan akibat kurangnya sarana sekolah.
-
Kelas menjadi padat, pengap, dan gaduh, menyebabkan proses belajar tidak efektif dan efisien.
Penerapan aturan di sekolah formal tidak cukup hanya berdasarkan regulasi tertulis. Harus ada kebijaksanaan, kepekaan psikologis, dan keadilan sosial. Kepala sekolah, guru, dan pengelola lembaga pendidikan wajib memastikan bahwa setiap aturan yang diterapkan tidak hanya berpihak pada sistem, tapi juga mengedepankan perkembangan holistik anak—baik dari sisi kognitif, afektif, maupun moral.
Bijak dalam menerapkan aturan bukan kelemahan, tapi cermin kecerdasan dan kepekaan pendidik sejati.