Oleh: Muh. Zulhamdi Suhafid
(Presiden Mahasiswa UIN Alauddin Makassar / Founder Green Diplomacy Network)
Memasuki penghujung tahun, kinerja Kabinet Merah Putih kembali menjadi sorotan publik. Bukan semata karena capaian yang diperdebatkan, melainkan karena merosotnya legitimasi rakyat akibat kebijakan-kebijakan yang dinilai kian menjauh dari kepentingan publik. Jurang antara kehendak masyarakat dan arah kebijakan negara terasa melebar—mulai dari tata kelola sumber daya alam yang mengabaikan keberlanjutan hingga keputusan strategis yang lebih akomodatif terhadap kepentingan elite.
Pada saat yang sama, Indonesia menghadapi krisis ekologi yang kian nyata: banjir berulang, polusi, degradasi lingkungan, dan ancaman serius terhadap masyarakat adat. Sayangnya, respons negara belum menunjukkan lompatan transformatif yang sepadan dengan skala krisis. Kondisi ini memperdalam ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah dan lembaga negara—sebuah krisis legitimasi yang patut dikhawatirkan.
Dalam situasi genting tersebut, percepatan reformasi hukum, khususnya di lingkungan aparat penegak hukum, menjadi urgensi yang tak dapat ditunda. Penegakan hukum yang transparan, akuntabel, dan nondiskriminatif adalah fondasi utama legitimasi pemerintahan demokratis.
Reformasi Polri perlu dipacu secara substansial—menyentuh profesionalitas, integritas, dan perspektif kebijakan yang responsif terhadap tantangan sosial-ekologis.
Pemerintah juga harus mempercepat pemberdayaan pemuda sebagai modal utama bonus demografi menuju Indonesia Emas 2045. Tanpa investasi serius pada pendidikan, kepemimpinan, teknologi, dan ekosistem kreativitas, bonus demografi berisiko berubah menjadi beban demografi. Narasi Indonesia Emas bisa berbalik menjadi Indonesia Cemas.
Di tengah krisis ekologi yang berdampak langsung pada hajat hidup rakyat, pembaruan konstitusi layak menjadi agenda nasional. Penulis mendorong Ketua MPR RI untuk menginisiasi amandemen UUD 1945, khususnya dengan menambahkan frasa “pengelolaan sumber daya alam secara adil dan berkelanjutan” pada Pasal 28H ayat (1).
Penegasan ini krusial agar konstitusi lebih responsif terhadap tantangan ekologis, memberi landasan normatif kuat agar kebijakan pembangunan tunduk pada kepentingan rakyat dan keberlanjutan lingkungan—sekaligus memulihkan legitimasi negara di mata publik.
Tiga Rekomendasi Strategis
Melihat kompleksitas persoalan, penulis menawarkan tiga gagasan strategis:
-
Green Democracy
Pemerintah perlu mengarusutamakan gagasan Green Democracy (Sultan Baktiar Najamudin) dalam seluruh proses kebijakan—eksekutif, legislatif, dan yudikatif—agar keadilan sosial berjalan seiring keberlanjutan ekologis. -
Green Diplomacy
Indonesia harus memajukan Green Diplomacy sebagai fondasi baru kerja sama luar negeri. Di tengah krisis iklim global, diplomasi berbasis keberlanjutan akan memperkuat posisi Indonesia sebagai pemimpin ekologis di kawasan dan dunia. -
Green Policing
Percepatan reformasi Polri perlu memasukkan Green Policing (Herry Heryawan) sebagai prioritas, membangun perspektif ekologis aparat dalam mencegah dan menindak kejahatan lingkungan.
Refleksi akhir tahun ini mesti menjadi momentum evaluasi menyeluruh bagi pemerintah dan seluruh lembaga negara—termasuk MPR RI—untuk mengoreksi arah pembangunan nasional. Tanpa reformasi yang berani, terukur, dan berorientasi ekologis, Indonesia akan terus terjebak dalam lingkaran krisis legitimasi dan krisis lingkungan yang saling memperparah.
Tahun baru harus dibuka dengan komitmen baru: memperkuat demokrasi hijau, diplomasi hijau, penegakan hukum hijau, dan konstitusi hijau sebagai fondasi menuju masa depan Indonesia yang berdaulat, berkelanjutan, dan berkeadilan.




