Oleh: Mahasiswa IAIN PARE-PARE Pariwisata Syariah
Naharudding
Ilfira ramadhanty
Reva Amalia Pratama
Nur Jannah
Nurul qalby
Laila Ramadhani
Nurul Safira
NARASIRAKYAT ---- Leang-Leang Maros bukan sekadar destinasi wisata; ia adalah jendela masa lalu, tempat di mana jejak manusia purba terpahat abadi di dinding-dinding batu. Setiap cap tangan, setiap gambar babi rusa atau anoa, bukan hanya lukisan, tetapi pesan kuno tentang bagaimana manusia pertama di Nusantara memahami dunia, menafsirkan hidup, dan berjuang untuk bertahan.
Namun ironi besar hadir di depan mata: warisan sejarah berusia puluhan ribu tahun ini masih jauh dari sorotan yang layak diterimanya.
Mengapa Leang-Leang Penting? Sebuah Refleksi Kolektif
Jika Prancis bangga dengan Lascaux dan Spanyol mendunia lewat Altamira, maka Indonesia memiliki Leang-Leang—bahkan dengan fakta menakjubkan: lukisan gua di kawasan ini diperkirakan berusia lebih dari 40.000 tahun, menjadikannya salah satu yang tertua di dunia. Status yang sudah seharusnya menempatkan Maros sebagai titik penting dalam peta peradaban global.
Namun apa yang terjadi?
Nama Leang-Leang masih kalah populer. Banyak pelajar tak mengenalnya. Banyak wisatawan Nusantara baru mendengarnya sesudah dewasa. Padahal, dunia ilmiah menempatkan situs ini sebagai referensi penting evolusi budaya manusia.
Yang membuat hati miris adalah kenyataan bahwa keagungan situs ini belum dipromosikan secara optimal.
Suara Publik yang Patut Didengar
Seorang pengunjung memberikan pendapat sederhana namun kuat:
“Leang-Leang harus lebih dipromosikan. Unggah sejarahnya, ceritanya—anak-anak muda pasti tertarik.”
Ia tidak salah. Di era digital, narasi menentukan masa depan destinasi.
Foto lukisan purba, video tour singkat gua, narasi arkeologi ringan—semuanya bisa mengangkat kembali nama Leang-Leang. Dunia pernah dibuat kagum oleh foto telapak tangan di gua ini, tetapi gaungnya belum dilanjutkan secara konsisten.
Ini bukan sekadar urusan pariwisata. Ini menyangkut identitas bangsa.
Sejarah yang Tak Boleh Luntur
Nama “Leang-Leang” berasal dari bahasa lokal yang berarti “gua-gua”, sangat tepat menggambarkan bentang alam Maros-Pangkep yang dipenuhi karst megah. Pada tahun 1980, kawasan ini diresmikan sebagai Taman Arkeologi, meski penelitian di Leang Pettae sudah dilakukan sejak 1950—sebelum Kabupaten Maros resmi berdiri pada 1959.
Di sinilah para arkeolog Belanda menemukan lukisan telapak tangan dan hewan buruan manusia purba. Maknanya tidak sederhana:
-
Telapak tangan diyakini sebagai simbol tolak bala atau tanda bahwa seseorang pernah mendiami gua itu.
-
Lukisan hewan menjadi doa agar perburuan berjalan sukses, menggambarkan relasi spiritual antara manusia dan alam.
Lukisan itu bukan seni pasif—mereka adalah ritual, identitas, dan strategi bertahan hidup.
Mengapa Kita Perlu Bergerak?
Leang-Leang kini berada dalam ancaman:
perubahan iklim, kelembapan, kerusakan alami, dan ancaman vandalisme. Tanpa edukasi dan pengelolaan yang tepat, warisan ini bisa memudar, terkikis, hilang.
Inilah alasan mengapa:
1. Pelestarian harus jadi prioritas utama.
Jalur wisata harus ramah pengunjung tanpa mengorbankan kelestarian lukisan purba.
2. Promosi kreatif perlu digencarkan.
Media sosial adalah alat paling murah dan efektif untuk mengangkat nama Leang-Leang ke tingkat nasional dan internasional.
3. Kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat harus diperkuat.
Warisan sebesar ini tidak bisa dijaga sendirian.
4. Pendidikan publik sangat penting.
Pengunjung harus paham bahwa setiap goresan di dinding gua adalah artefak bernilai dunia.
5. Leang-Leang harus menjadi laboratorium hidup.
Siswa, mahasiswa, hingga peneliti perlu diberi ruang untuk belajar langsung tentang arkeologi, antropologi, dan seni prasejarah.
Leang-Leang Milik Kita Semua
Leang-Leang bukan milik Maros saja;
bukan milik Sulawesi Selatan saja;
tetapi milik seluruh umat manusia.
Ia adalah bukti kreativitas, spiritualitas, dan kecerdikan nenek moyang kita.
Menjaga Leang-Leang berarti menjaga identitas bangsa.
Mempromosikannya berarti mengakui kebesaran sejarah kita.
Melestarikannya berarti menghormati masa depan generasi yang akan datang.
Dunia menunggu cerita Leang-Leang diceritakan ulang.
Dunia menunggu kita mengangkatnya sejajar dengan situs-situs prasejarah terbesar lainnya.
Leang-Leang sudah berdiri selama 40.000 tahun. Jangan biarkan ia hilang dalam diam di tangan generasi sekarang.
Saatnya menjadikan Leang-Leang sebagai kebanggaan budaya Indonesia—
ikon peradaban dunia yang kita jaga bersama.










