Oleh: Andi Muhammad Yunus
NARASIRAKYAT, Bone — Di tengah arus modernisasi yang kian deras, budaya lokal kerap ditempatkan pada posisi yang kurang menguntungkan. Tradisi sering dianggap usang, tidak relevan, bahkan dipersepsikan sebagai penghambat kemajuan. Dalam banyak diskursus publik, pelaku budaya acap kali diposisikan sebagai kelompok yang tertinggal oleh zaman. Pandangan ini pula yang masih melekat pada komunitas bissu dalam masyarakat Bugis—sebuah komunitas adat yang kerap disalahpahami, distigmatisasi, dan dipinggirkan dalam ruang sosial modern.
Stigma tersebut tidak lahir secara alamiah, melainkan terbentuk melalui proses komunikasi sosial yang timpang. Dalam perspektif komunikasi budaya, cara media dan masyarakat membingkai (framing) identitas bissu sering kali menonjolkan aspek perbedaan, keasingan, bahkan kontroversi, alih-alih menempatkan mereka sebagai penjaga nilai spiritual dan kebudayaan Bugis. Akibatnya, bissu direduksi sebatas isu identitas, bukan sebagai aktor penting dalam keberlanjutan budaya.
Di tengah situasi inilah, Andi Muhammad Yunus hadir sebagai figur yang mematahkan stigma tersebut. Lahir dan tumbuh di Desa Sailong, Kabupaten Bone, Yunus besar dalam lingkungan budaya Bugis yang kuat. Sejak usia muda, ia menunjukkan ketertarikan mendalam terhadap seni dan tradisi. Keputusannya menapaki jalan sebagai bissu bukanlah proses singkat, melainkan perjalanan panjang yang sarat refleksi, pencarian jati diri, serta keberanian menghadapi tekanan sosial.
Sebagai bissu, Andi Muhammad Yunus tidak hanya menjalankan peran ritual dalam upacara adat seperti Mappalili, Ammaca Pusaka, dan ritual kerajaan Bone. Lebih dari itu, ia menjadi jembatan antara tradisi dan masyarakat kontemporer. Melalui kiprahnya, Yunus membuktikan bahwa bissu bukanlah simbol masa lalu yang beku, melainkan entitas budaya yang hidup, dinamis, dan relevan dengan perkembangan zaman.
Perannya semakin mendapat sorotan ketika ia berhasil membawa seni bissu ke panggung internasional. Pada tahun 2015, Yunus mewakili Indonesia dalam ajang lomba tari internasional di Spanyol bersama tim Universitas Hasanuddin. Melalui tarian sakral Sere Bissu Magiri, mereka berhasil meraih juara pertama. Prestasi ini bukan sekadar kemenangan artistik, melainkan bentuk pengakuan dunia terhadap nilai budaya Bugis yang selama ini terpinggirkan dalam narasi arus utama.
Dalam kerangka komunikasi budaya dan politik identitas, kiprah Yunus memiliki makna simbolik yang kuat. Ia menggeser narasi tentang bissu dari kelompok yang distigmatisasi menjadi representasi kekayaan budaya dan spiritualitas Nusantara. Melalui karya dan dedikasinya, Yunus membangun soft power budaya, memperkuat citra Indonesia sebagai bangsa yang beragam, berakar, dan beradab.
Menariknya, Andi Muhammad Yunus tidak hanya aktif sebagai pelaku budaya, tetapi juga berkiprah di dunia akademik dan pemerintahan. Perannya sebagai dosen sekaligus staf Dinas Pemuda dan Olahraga Kabupaten Bone menegaskan bahwa pelestarian budaya tidak bertentangan dengan pendidikan modern maupun birokrasi. Justru sebaliknya, budaya dapat menjadi fondasi etis dalam pembangunan sosial dan kebijakan publik.
Dari perspektif nilai Islam dan kearifan lokal Bugis, apa yang dilakukan Yunus mencerminkan prinsip kemanusiaan, keseimbangan, dan moderasi. Islam memandang budaya sebagai bagian dari kehidupan manusia selama tidak bertentangan dengan nilai moral dan kemaslahatan. Dalam konteks ini, bissu bukanlah antitesis agama, melainkan ekspresi budaya yang mengajarkan harmoni antara manusia, alam, dan Sang Pencipta.
Kisah Andi Muhammad Yunus menunjukkan bahwa satu individu mampu menjadi agen perubahan persepsi publik. Ia tidak melawan stigma dengan retorika keras, melainkan melalui konsistensi, keteladanan, dan kontribusi nyata. Dalam teori agenda setting, tindakan-tindakannya perlahan membentuk kesadaran baru masyarakat: bahwa bissu adalah penjaga identitas dan martabat budaya, bukan penyimpangan sosial.
Pada akhirnya, perjalanan hidup Yunus menyampaikan pesan penting: budaya tidak akan bertahan hanya dengan nostalgia, tetapi melalui manusia-manusia yang berani merawatnya. Andi Muhammad Yunus menjadi simbol bahwa menjaga tradisi adalah bentuk keberanian, dan merawat warisan leluhur adalah tindakan kemanusiaan yang luhur.
Penulis adalah mahasiswa Ilmu Komunikasi Atas Nama Andi Sazqiah (50700123110) Kelas Ikom C sekaligus pemerhati komunikasi budaya dan kearifan lokal.




