
![]() |
PRESMA UINAM Soroti Kenaikan Tunjangan DPR |
NARASIRAKYAT, Makassar, Agustus 2025 — Polemik kenaikan tunjangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menuai kritik luas di tengah masyarakat. Kebijakan yang dianggap tidak sensitif terhadap kondisi rakyat ini mendapat sorotan tajam dari Muh. Zulhamdi Suhafid, Presiden Mahasiswa (Presma) Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar (UINAM).
Menurut Zulhamdi, kebijakan ini memperlihatkan adanya ketimpangan serius antara kehidupan masyarakat yang masih berjuang melawan berbagai kesulitan, dengan kenyamanan yang justru terus ditambah bagi para legislator.
“Yang perlu ditingkatkan itu bukan tunjangannya, tapi kinerja dan kepercayaan rakyat. DPR adalah representasi suara rakyat, dan seharusnya fokus pada kerja nyata, bukan kepentingan fasilitas,” tegas Zulhamdi.
Kenaikan tunjangan DPR dinilai ironis di tengah situasi rakyat yang masih harus menghadapi lonjakan harga kebutuhan pokok, keterbatasan akses pendidikan, sulitnya lapangan kerja, hingga problem kesehatan. Sementara itu, langkah menaikkan tunjangan justru dianggap memperlebar jurang ketidakadilan sosial.
Zulhamdi juga menyoroti bahwa kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif semakin menurun. Menurutnya, keputusan ini justru bisa semakin merusak citra DPR di mata masyarakat. Ia menegaskan bahwa DPR seharusnya tampil sebagai teladan kesederhanaan, bukan menambah beban psikologis rakyat dengan kebijakan yang kontroversial.
Lebih jauh, ia mendorong DPR agar berfokus pada isu-isu yang benar-benar menyentuh kepentingan rakyat, mulai dari penurunan angka pengangguran, pengendalian harga kebutuhan pokok, peningkatan kualitas pendidikan, hingga penguatan perlindungan sosial.
“Kalau DPR ingin dihormati, yang harus ditingkatkan adalah kerja-kerja nyata dan keberpihakan pada rakyat, bukan tunjangannya. Itu yang ditunggu masyarakat,” tutup Zulhamdi dengan tegas.
5 Fakta Menarik Polemik Kenaikan Tunjangan DPR
-
Presma UINAM vokal bersuara: Zulhamdi Suhafid menjadi salah satu mahasiswa yang berani mengkritik keras kebijakan DPR.
-
Jurang ketidakadilan: Di saat rakyat masih menghadapi kesulitan ekonomi, DPR justru menambah fasilitas.
-
Citra legislatif terancam: Kepercayaan publik terhadap DPR sudah menurun, dan kebijakan ini berpotensi memperburuknya.
-
Isu strategis diabaikan: Persoalan rakyat seperti pengangguran, pendidikan, dan harga kebutuhan pokok lebih mendesak untuk diperhatikan.
-
Tuntutan moral: DPR diminta menjadi teladan kesederhanaan, bukan simbol kemewahan.
"Rakyat tidak menuntut kemewahan dari wakilnya, yang mereka harapkan hanyalah keberpihakan, kerja nyata, dan keteladanan."