![]() |
Akademisi kehutanan Dr. Ir. Siti Maimunah Tegaskan Bongkar Akar Banjir Bandang: Masalahnya Bukan Hujan, Tapi Sistem |
NARASIRAKYAT, Jakarta — Akademisi kehutanan Dr. Ir. Siti Maimunah, S.Hut., MP, IPU, ASEAN Eng mengingatkan bahwa pembangunan yang mengabaikan etika lingkungan dan keadilan sosial berpotensi menjadi mesin pengganda risiko bencana hidrometeorologi, seperti banjir bandang dan longsor. Hal tersebut disampaikannya dalam Diskusi Green Diplomacy Network bertajuk “Quo Vadis Konstitusi dan Krisis Ekologis”, Selasa (23/12/2025).
Menurutnya, meningkatnya frekuensi dan dampak bencana tidak bisa semata-mata dilihat sebagai fenomena alam. Kerusakan ekologi yang dibiarkan menumpuk, ditambah tata kelola perizinan yang lemah dan tidak diawasi secara tegas, menjadi faktor kunci yang memperparah kerentanan wilayah.
“Bencana seharusnya diposisikan sebagai ruang pembelajaran konstitusional untuk mengevaluasi sejauh mana mandat UUD 1945, terutama perlindungan ekologi dan keselamatan manusia, benar-benar dijalankan secara konsisten dalam praktik kebijakan,” ujar Siti.
Dari perspektif kehutanan, Siti menjelaskan bahwa banjir bandang tidak terjadi secara tiba-tiba. Rusaknya kawasan hutan di wilayah hulu menyebabkan fungsi ekologis tanah melemah. Air hujan yang seharusnya meresap ke dalam tanah justru mengalir deras ke hilir sambil membawa material erosi.
Kondisi tersebut merupakan akumulasi kerusakan ekologis selama bertahun-tahun yang kemudian “meledak” ketika hujan berintensitas tinggi terjadi secara bersamaan.
“Ini bukan soal hujan semata, tetapi soal ekosistem yang sudah kehilangan daya dukungnya,” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa persoalan utama tidak berhenti pada faktor alam. Lemahnya penegakan hukum terhadap penyalahgunaan lahan, alih fungsi ruang, serta praktik yang menjadikan dokumen lingkungan seperti AMDAL dan UKL-UPL hanya sebagai formalitas administratif, turut memperbesar risiko bencana.
“Dokumen lingkungan sering kali diperlakukan hanya sebagai syarat izin, bukan sebagai panduan operasional yang wajib dijalankan di lapangan,” tegasnya.
Menjawab pertanyaan soal pihak yang harus bertanggung jawab, Siti mengingatkan agar publik tidak terjebak pada pola saling menyalahkan.
“Jangan salahkan komoditasnya, tapi salahkan sistem yang tidak tegas,” ujarnya.
Menurutnya, selama perizinan telah melewati prosedur formal, akar masalah justru terletak pada lemahnya pengawasan dan ketidaktegasan sistem, kecuali jika ditemukan praktik permainan kotor dalam penerbitan izin.
Siti juga menekankan bahwa pemerintah tetap harus memikul tanggung jawab ketika regulasi tidak dijalankan sebagaimana mestinya, termasuk jika terjadi “kecolongan” dalam proses perizinan.
Ia mendorong peninjauan ulang dokumen perizinan yang telah terbit serta memastikan seluruh kegiatan operasional perusahaan benar-benar sesuai dengan dokumen lingkungan yang disetujui.
“Fondasi kebijakan harus kembali pada amanat konstitusi, yakni pembangunan yang beretika lingkungan, berkeadilan sosial, dan bebas dari praktik suap,” pungkasnya.
Lima Fakta Menarik dari Pernyataan Akademisi
Banjir bandang adalah akumulasi kerusakan hutan bertahun-tahun, bukan sekadar akibat hujan ekstrem
AMDAL kerap hanya jadi formalitas, bukan instrumen pengendali lingkungan
Sistem perizinan lemah berkontribusi langsung pada meningkatnya risiko bencana
Negara tetap bertanggung jawab atas izin yang tidak diawasi dengan baik
Konstitusi UUD 1945 menempatkan perlindungan ekologi sebagai mandat utama pembangunan
Pernyataan Dr. Siti Maimunah menjadi pengingat kuat bahwa pembangunan sejati bukan sekadar soal pertumbuhan ekonomi, melainkan tentang menjaga keseimbangan antara manusia dan alam. Ketika etika lingkungan dan amanat konstitusi dijalankan secara konsisten, pembangunan tidak lagi menjadi ancaman, melainkan jalan menuju keberlanjutan dan keselamatan bersama.




