
![]() |
Pimpinan Kampus Tutup Mulut Transparansi Anggaran BLU! DEMA UIN Makassar Tegaskan Kampus Langgar UU Keterbukaan Informasi Publik |
NARASIRAKYAT, Makassar, 27 September 2025 – Polemik transparansi anggaran kembali mencuat di Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar (UINAM). Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) dengan lantang menuding pimpinan kampus telah melanggar Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik karena menutup akses terhadap data anggaran Badan Layanan Umum (BLU).
Di tengah tuntutan keterbukaan, pihak rektorat justru memilih bungkam. Sikap ini menuai kekecewaan besar dari mahasiswa yang menilai bahwa UIN Alauddin telah kehilangan semangat intelektual dan nilai demokrasi yang seharusnya dijunjung tinggi di lingkungan akademik.
Menurut DEMA, kampus bukan hanya ruang belajar, melainkan juga pusat pembentukan karakter dan intelektual bangsa. Namun, ketika transparansi dipasung, ruang kritik dipersempit, dan suara mahasiswa dibungkam, maka kampus justru berubah menjadi ruang steril yang kehilangan makna kebebasan akademik.
“Rektorat tidak bisa terus-menerus menutup ruang demokrasi di kampus. Jika suara mahasiswa dibungkam, maka UIN Alauddin akan kehilangan ruh intelektualnya,” tegas salah satu pengurus DEMA.
Lebih jauh, mahasiswa menilai pimpinan kampus sengaja melestarikan budaya birokrasi tertutup yang rawan penyalahgunaan dana publik. Padahal, BLU adalah instrumen keuangan negara yang seharusnya transparan dan akuntabel karena bersumber dari masyarakat, termasuk mahasiswa.
Tuntutan DEMA UINAM
-
Mendesak Rektorat untuk membuka akses transparansi seluruh anggaran kampus.
-
Mendesak aparat penegak hukum melakukan audit menyeluruh terhadap anggaran BLU yang selama ini tidak pernah dipublikasikan.
-
Mendesak P2B menghapus pungutan pembayaran Gedung Aula untuk lembaga internal kemahasiswaan.
-
Mendesak pimpinan kampus untuk menghentikan segala bentuk pembatasan aspirasi mahasiswa.
Menutup akses informasi anggaran bukan sekadar masalah administratif, melainkan pelanggaran hukum. UU Keterbukaan Informasi Publik secara jelas menegaskan bahwa setiap lembaga publik, termasuk perguruan tinggi negeri, wajib membuka akses anggaran kepada masyarakat.
Kampus seharusnya menjadi teladan keterbukaan, bukan justru menjadi contoh buruk birokrasi tertutup. Ironis, sebuah institusi yang berlabel “Islam Negeri” justru menutup ruang amar ma’ruf berupa transparansi, yang merupakan nilai luhur agama sekaligus prinsip demokrasi modern.
Suara mahasiswa bukanlah ancaman, melainkan napas bagi demokrasi kampus. Jika pimpinan UIN Alauddin Makassar terus menutup telinga, menutup mulut, dan menutup akses informasi, maka mereka sesungguhnya sedang menutup pintu masa depan kampus sendiri.
Transparansi bukan sekadar tuntutan DEMA, tapi juga kewajiban moral dan hukum. Kampus yang sehat lahir dari keberanian membuka data, mengakui kritik, dan berdialog dengan mahasiswa. Jika tidak, sejarah akan mencatat: UIN Alauddin Makassar pernah menjadi kampus yang kehilangan cermin intelektualnya.