NARASIRAKYAT — Gema revolusi yang dulu menumbangkan tirani kini menggema dalam bentuk yang berbeda. Dunia modern berdiri di atas janji besar demokrasi — sistem yang menjunjung kebebasan, kesetaraan, dan kedaulatan rakyat. Namun, dua abad setelah Revolusi Prancis mengumandangkan semboyan Liberté, Égalité, Fraternité, narasi agung itu kini retak oleh kenyataan: rakyat tak lagi benar-benar berkuasa.
Dalam sebuah forum reflektif bertajuk “Demokrasi Setelah Runtuh: Menimbang Ulang Kuasa Rakyat di Era Algoritma,” sejumlah akademisi, mahasiswa, dan pegiat demokrasi di Makassar membedah paradoks besar sistem politik modern. Diskusi itu menguak kegelisahan yang kian universal: apakah demokrasi hari ini masih menjamin kebebasan, atau justru menormalisasi bentuk penindasan baru yang lebih halus dan sistematis?
Paradoks Demokrasi Modern: Ketika Kebebasan Jadi Ilusi
Sejak awal, demokrasi diyakini sebagai kemenangan rakyat atas tirani. Namun, seperti diungkapkan dalam forum tersebut, demokrasi masa kini tak lagi dijalankan oleh rakyat, melainkan oleh algoritma, citra, dan modal.
Kekuasaan bergeser dari istana raja menuju ruang digital yang diatur oleh kecerdasan buatan, opini publik, dan kepentingan korporasi global.
“Dulu rakyat tunduk pada pedang dan mahkota. Sekarang kita tunduk pada feed, like, dan survei elektoral,” ujar salah satu pembicara, menyoroti betapa kekuasaan kini menjelma menjadi penindasan yang dirayakan sebagai kebebasan.
Demokrasi Sebagai Ritual, Bukan Substansi
Pemilu, debat publik, hingga partisipasi warga kini dipandang bukan lagi sebagai ekspresi kedaulatan rakyat, melainkan ritual legitimasi kekuasaan.
Kandidat politik, menurut para peserta forum, hanyalah produk dari sistem ekonomi-politik yang menyeleksi siapa yang pantas tampil — bukan berdasarkan idealisme, melainkan kemampuan membayar harga popularitas.
Inilah bentuk oligarki modern yang paling sempurna: ia tidak memaksa rakyat untuk tunduk, karena rakyat justru merayakan keterkungkungan mereka sebagai tanda kebebasan.
5 Fakta Menarik Tentang Krisis Demokrasi di Era Digital
-
Kekuasaan Berpindah ke Algoritma — Kini media sosial lebih menentukan arah opini publik daripada lembaga negara.
-
Demokrasi Menjadi Industri Citra — Kampanye dan pemilu bergantung pada modal, bukan moral.
-
Kebebasan yang Terkurasi — Rakyat hanya memilih dari opsi yang sudah disaring oleh sistem ekonomi dan politik.
-
Ritual Legitimasi Global — Demokrasi kini menjadi seremonial global yang menegaskan kekuasaan elit transnasional.
-
Paradigma Baru Diperlukan — Muncul gagasan tentang politik baru berbasis nurani, kemanusiaan, dan keberlanjutan, bukan sekadar perhitungan elektoral.
Menatap Masa Depan: Melampaui Demokrasi
Dalam penutupan forum, para narasumber menyepakati satu hal: demokrasi tidak sedang mati, tetapi sedang kehilangan maknanya.
Kebebasan yang dijanjikan kini berubah menjadi produk konsumsi massal yang dikontrol oleh pasar dan teknologi. Maka pertanyaannya bukan lagi “bagaimana menyelamatkan demokrasi,” tetapi “apakah kita siap melampauinya?”
“Mungkin masa depan politik manusia bukan tentang menyempurnakan demokrasi, melainkan melampauinya. Tentang bagaimana manusia kembali memaknai kekuasaan bukan sebagai dominasi, tapi sebagai relasi kemanusiaan,” ungkap salah satu peserta diskusi.
Dunia sedang menatap persimpangan sejarah. Di satu sisi, demokrasi tetap menjadi simbol harapan. Namun di sisi lain, ia memanggil kita untuk berani menatap cermin dan mengakui bahwa kebebasan sejati tidak lahir dari bilik suara, melainkan dari kesadaran diri.
Ketika hari itu tiba — saat rakyat tidak lagi sekadar memilih, tetapi memahami dan menentukan arah peradabannya sendiri — maka di sanalah revolusi baru dimulai: revolusi kesadaran.





