![]() |
Peredaran Kosmetik Ilegal “Shasa Whitening” Marak di Gowa, Aparat Didesak Tegas Bertindak |
NARASIRAKYAT, Gowa, 13 Oktober 2025 — Kabupaten Gowa kembali menjadi sorotan publik setelah mencuat dugaan maraknya peredaran produk kosmetik pemutih tubuh berlabel “Shasa Whitening” yang dikabarkan tidak memiliki izin edar resmi dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Produk tersebut tengah ramai diperjualbelikan di berbagai platform daring dengan klaim “full pemutih instan” yang menjanjikan hasil cerah seketika. Namun, di balik popularitasnya, publik mulai meragukan keamanan dan legalitas produk yang viral itu.
Berdasarkan temuan lapangan serta penelusuran warga dan aktivis mahasiswa, Shasa Whitening diduga kuat belum terdaftar dalam data BPOM. Sejumlah warganet melaporkan bahwa produk ini juga didistribusikan secara langsung melalui jalur penjualan lapangan — mulai dari reseller lokal hingga promosi via media sosial.
Fenomena ini menimbulkan keprihatinan mendalam di tengah masyarakat. Produk kosmetik tanpa izin edar berpotensi mengandung bahan kimia berbahaya seperti merkuri dan hidrokuinon, yang dapat merusak lapisan kulit, memicu iritasi parah, bahkan menyebabkan gangguan ginjal dan syaraf jika digunakan dalam jangka panjang.
Selain membahayakan kesehatan, praktik ini juga merugikan negara karena melewati mekanisme pajak, sertifikasi, dan izin edar resmi.
Menyikapi hal tersebut, Aliansi Mahasiswa Jelajah Jarak mengeluarkan pernyataan resmi yang mendesak aparat penegak hukum, khususnya Unit Tipidter Polres Gowa, untuk segera melakukan penyelidikan terbuka dan menyeluruh terhadap dugaan peredaran kosmetik ilegal tersebut.
“Peredaran kosmetik ilegal seperti Shasa Whitening tidak bisa dianggap sepele. Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi juga menyangkut keselamatan rakyat dan integritas hukum,” tegas Aliansi Mahasiswa Jelajah Jarak, Senin (13/10).
Mereka menambahkan bahwa pelaku pelanggaran Undang-Undang Kesehatan dapat diancam pidana penjara hingga 15 tahun dan denda Rp1,5 miliar, sebagaimana diatur dalam Pasal 196 dan 197 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Lebih jauh, beredar di ruang publik bahwa produk Shasa Whitening disebut-sebut dimiliki oleh seorang perempuan yang merupakan istri dari oknum prajurit TNI. Meski demikian, hingga berita ini diturunkan, belum ada konfirmasi atau klarifikasi resmi dari pihak yang bersangkutan maupun dari instansi militer terkait.
“Kami tidak menuduh siapa pun. Namun, jika benar ada keterlibatan individu yang berhubungan dengan institusi negara, maka penegakan hukum harus dilakukan secara transparan dan tanpa pandang bulu,” lanjut pernyataan resmi Aliansi tersebut.
Aliansi Mahasiswa Jelajah Jarak juga menyerukan edukasi publik agar masyarakat lebih kritis dalam memilih produk kosmetik. Mereka menekankan pentingnya memeriksa izin edar BPOM serta menghindari produk yang menjanjikan hasil instan tanpa dasar ilmiah.
“Keadilan tidak boleh berhenti di hadapan seragam. Siapa pun yang melanggar hukum harus bertanggung jawab,” tegas pernyataan penutup Aliansi tersebut dengan nada lugas.
5 Fakta Menarik Kasus “Shasa Whitening”
-
Produk Shasa Whitening disebut beredar luas di e-commerce lokal tanpa izin edar resmi.
-
Hasil uji publik menyebut kemungkinan kandungan merkuri dan hidrokuinon, dua zat berbahaya yang telah dilarang BPOM.
-
Distribusi produk diduga dilakukan melalui reseller langsung di Gowa dan Makassar, selain penjualan daring.
-
Kasus ini memicu desakan penegakan hukum dari Aliansi Mahasiswa Jelajah Jarak, kelompok aktivis yang aktif memantau isu sosial dan kesehatan masyarakat.
-
Beredar rumor kepemilikan produk terkait dengan individu berstatus istri aparat, yang menambah sorotan publik terhadap aspek transparansi penegakan hukum.
Kasus Shasa Whitening menjadi pengingat penting bahwa keamanan dan kesehatan masyarakat tidak boleh dikorbankan demi keuntungan bisnis. Masyarakat, aparat, dan mahasiswa memiliki tanggung jawab bersama untuk memastikan setiap produk yang beredar aman, legal, dan beretika.





